Senin, 29 Maret 2010

PENALARAN DEDUKTIF

PENALARAN DEDUKTIF


Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).
Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh: Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.


Latar belakang

Penalaran deduktif dikembangkan oleh Aristoteles, Thales, Pythagoras, dan para filsuf Yunani lainnya dari Periode Klasik (600-300 SM.). Aristoteles, misalnya, menceritakan bagaimana Thales menggunakan kecakapannya untuk mendeduksikan bahwa musim panen zaitun pada musim berikutnya akan sangat berlimpah. Karena itu ia membeli semua alat penggiling zaitun dan memperoleh keuntungan besar ketika panen zaitun yang melimpah itu benar-benar terjadi.[2]
Penalaran deduktif tergantung pada premisnya. Artinya, premis yang salah mungkin akan membawa kita kepada hasil yang salah, dan premis yang tidak tepat juga akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat.

Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif. Perbedaan dasar di antara keduanya dapat disimpulkan dari dinamika deduktif tengan progresi secara logis dari bukti-bukti umum kepada kebenaran atau kesimpulan yang khusus; sementara dengan induksi, dinamika logisnya justru sebaliknya. Penalaran induktif dimulai dengan pengamatan khusus yang diyakini sebagai model yang menunjukkan suatu kebenaran atau prinsip yang dianggap dapat berlaku secara umum.

Penalaran deduktif memberlakukan prinsip-prinsip umum untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan yang spesifik, sementara penalaran induktif menguji informasi yang spesifik, yang mungkin berupa banyak potongan informasi yang spesifik, untuk menarik suatu kesimpulan umu. Dengan memikirakan fenomena bagaimana apel jatuh dan bagaimana planet-planet bergerak, Isaac Newton menyimpulkan teori daya tarik. Pada abad ke-19, Adams dan LeVerrier menerapkan teori Newton (prinsip umum) untuk mendeduksikan keberadaan, massa, posisi, dan orbit Neptunus (kesimpulan-kesimpulan khusus) tentang gangguan (perturbasi) dalam orbit Uranus yang diamati (data spesifik).

Logika deduktif

Penalaran deduktif didukung oleh logika deduktif.
Misalnya:

Apel adalah buah.

Semua buah tumbuh di pohon.

Karena itu semua apel tumbuh di pohon.

Atau

Apel adalah buah.

Sebagian apel berwarna merah.

Karena itu sebagian buah berwarna merah.

Premis yang pertama mungkin keliru, namun siapapun yang menerima premis ini dipaksa untuk menerima kesimpulannya.


Deduksi alamiah

Artikel utama untuk bagian ini adalah: Deduksi alamiah
Penalaran deduktif harus dibedakan dari konsep yang terkait yaitu deduksi alamiah, sebuah pendekatan kepada teori pembuktian bahwa upaya-upaya untuk memberikan sebuah model penalaran logis yang formal sebagaimana ia terjadi "secara alamiah".


PENALARAN DEDUKTIF

Jika setiap siswa di suatu kelas diminta membuat lingkaran lalu mereka
diminta membuat sudut pusat dan sudut keliling yang menghadap busur
yang sama, dan setelah itu mereka diminta mengukur besar kedua sudut
dengan tepat, maka akan didapat besar sudut pusat tersebut adalah dua
kali besar sudut kelilingnya. Pernyataan itu bernilai benar secara
induktif, karena kita telah membuat bentuk umum (general) dari
beberapa kasus khusus. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah:

Yakinkah Anda dengan kesimpulan itu? Untuk meyakinkan kebenaran
teorema tersebut, penarikan kesimpulan berdasar penalaran induktif
saja tidaklah cukup. Matematikawan masih bertumpu pada penalaran
lainnya yang dikenal dengan penalaran deduktif, yang akan dijelaskan
pada bagian berikutnya di bawah ini.

Untuk membuktikan kebenaran pernyataan atau teorema tentang
hubungan sudut pusat dan sudut keliling secara deduktif, maka pada
lingkaran di bawah ini telah dibuat garis pertolongan yang melalui titik C
dan titik O yang memotong lingkarannya di titik D.
Langkah pertamanya adalah dengan memisalkan bahwa ÐDOB = x° dan
ÐDOA = y°. Perhatikan bahwa pemisalannya bersifat umum di mana x°
dan y° mewakili besar sudut yang mungkin dari ÐDOB dan ÐDOA.
Dengan demikian, didapat ÐCOB = (180 – x)° dan ÐAOC = (180 – y)°.
Segitiga OBC merupakan segitiga samakaki, karena OB = OC (jari-jari),
begitu juga dengan segitiga AOC merupakan segitiga samakaki juga,
sehingga dapat dibuktikan dengan menggunakan sifat-sifat pada segitiga
sama-kaki bahwa ÐDCB = ½ x° dan ÐDCA = ½ y°. Jadi, secara deduktif
terbukti bahwa sudut pusat besarnya adalah dua kali besar sudut
keliling jika menghadap busur yang sama. Nyatalah sekarang bahwa
untuk membuktikan kebenaran pernyataan di atas secara deduktif,
maka teorema itu telah dibuktikan dengan menggunakan teorema atau
sifat berikut: “Jika pada suatu segitiga samakaki ABC diketahui bahwa
AC = BC, maka kedua sudut alasnya sama besar (ÐA = ÐB).”

Contoh di atas menunjukkan bahwa pada penalaran deduktif; suatu
rumus atau dalil yang bersifat umum telah dibuktikan dengan
menggunakan atau melibatkan teorema maupun rumus matematika
sebelumnya yang bersifat umum juga dan sudah dibuktikan
kebenarannya secara deduktif. Selanjutnya, teori maupun rumus
matematika yang digunakan sebagai dasar pembuktian tadi telah
dibuktikan berdasar teori maupun rumus matematika yang sebelumnya
lagi. Begitu seterusnya. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah:
Bukti paling awal didasarkan pada apa? Ternyata, pembuktiannya
didasarkan pada aksioma, yaitu pernyataan yang dianggap atau
diasumsikan benar.

Contoh lainnya adalah pengetahuan Aljabar yang berkait dengan
bilangan real a, b, dan c terhadap operasi penjumlahan (+) dan perkalian
(.) yang menurut Vance (19..) telah didasarkan pada enam aksioma atau
postulat berikut:

1) tertutup, a + b Î R dan a.b Î R.
2) asosiatif, a + (b + c) = (a + b) + c dan a .(b . c) = (a . b) . c
3) komutatif, a + b = b + a dan a.b = b.a
4) distributif, a.(b + c) = a.b + a.c dan (b + c).a = b.a + c.a
5) identitas, a + 0 = 0 + a = a dan a.1 = 1. a = a
6) invers, a + (−a) = (−a) + a = 0 dan a.

a = 1 untuk a ¹ 0.

Berdasar enam aksioma itu, teorema seperti −b + (a + b) = a dapat
dibuktikan sebagai berikut:
− b + (a + b) = − b + (b + a) Aksioma 3 I Komutatif
= (−b + b) + a Aksioma 2 I Asosiatif
= 0 + a Aksioma 6 I Invers
= a Aksioma 5 I Identitas

Dengan demikian jelaslah bahwa bangunan matematika telah disusun
dengan dasar pondasi berupa kumpulan pengertian pangkal (unsur
pangkal dan relasi pangkal) dan kumpulan sifat pangkal (aksioma).

Aksioma atau sifat pangkal adalah semacam dalil yang kebenarannya
tidak perlu dibuktikan namun sangat menentukan, karena sifat pangkal
inilah yang akan menjadi dasar untuk membuktikan dalil atau teorema
matematika selanjutnya. Dengan demikian, unsur utama pekerjaaan
matematika adalah penalaran deduktif yang bekerja atas dasar asumsi,
yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat
logis dari kebenaran sebelumnya. Pengertian-pengertian matematika
secara berantai didefinisikan dari pengertian sebelumnya yang
bersumber pada pengertian pangkal. Sebagaimana aksioma yang tidak
perlu dibuktikan kebenarannya karena akan menjadi dasar pembuktian
dalil atau sifat berikutnya, maka pengertian pangkal tidak didefinisikan


karena pengertian pangkal akan menjadi dasar pendefinisian pengertianpengertian
atau konsep-konsep matematika berikutnya.

Karenanya, Jacobs (1982:32) menyatakan: “Deductive reasoning is a
method of drawing conclusions from facts that we accept as true by using
logic ”. Artinya, penalaran deduktif adalah suatu cara penarikan
kesimpulan dari pernyataan atau fakta-fakta yang dianggap benar
dengan menggunakan logika. Suatu hal yang sudah jelas benar pun
harus ditunjukkan atau dibuktikan kebenarannya dengan langkahlangkah
yang benar secara deduktif. Itulah sebabnya, bangunan
matematika dikenal sebagai mata pelajaran yang dikembangkan secara
deduktif-aksiomatis. Itulah sebabnya, pernyataan bahwa sudut pusat
besarnya adalah dua kali besar sudut keliling jika menghadap busur
yang sama terkategori bernilai benar secara deduktif, karena sesuai
dengan teori koherensi, pernyataan yang terkandung di dalam kalimat
itu bersifat koheren, konsisten, atau tidak bertentangan dengan
pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Suatu
bangunan matematika akan runtuh jika terdapat sifat, dalil, atau
teorema ada yang saling bertentangan (kontradiksi).

KESAHIHAN PENALARAN DEDUKTIF

Perhatikan contoh berikut:.

(1) Rumah Amin terletak di sebelah barat rumah Akbar.
(2) Rumah Akbar terletak di sebelah barat rumah Abdur
------------------------------------------------------------------------
Jadi, rumah Amin terletak di sebelah barat rumah Abdur (3)
Perhatikan pernyataan 1 dan 2 yang disebut premis dan menjadi dasar
penarikan kesimpulan (yaitu pernyataan 3). Apa yang menarik dari
pernyataan 1, 2, dan 3 di atas? Jika digambarkan, akan didapat diagram
berikut.

Tentunya Anda sendiri, para pembaca naskah ini, tidak akan
mengetahui apakah pernyataan tersebut bernilai benar atau tidak.
Mungkin juga Anda tidak akan mengenal dan tidak akan mengetahui
apakah ketiga orang tersebut benar-benar memiliki rumah. Tetapi Anda
dapat menyatakan bahwa jika premis-premisnya (yaitu pernyataan 1 dan
2) bernilai benar maka kesimpulannya (yaitu pernyataan 3) tidak akan
mungkin untuk bernilai salah. Sekali lagi, jika premis-premisnya bernilai
benar maka kesimpulannya tidak akan mungkin untuk bernilai salah.

Rumah Akbar Rumah Abdur

Rumah Amin

Penarikan kesimpulan seperti ini disebut dengan penarikan kesimpulan
yang sah, sahih, valid, absah, atau correct. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Giere (84:39) berikut: “Any argument in which the truth of the
premises makes it impossible that the conclusion could be false is called a
deductively valid argument." Yang artinya, setiap argumen di mana
kebenaran dari premis-premisnya tidak memungkinkan bagi
kesimpulannya untuk salah disebut dengan argumen yang sah atau
valid. Penarikan kesimpulan di atas dikenal dengan nama sylogisme dan
bentuk umumnya adalah:
p q
q r
------------
\ p r
Perhatikan contoh lain dari penarikan kesimpulan atau argumen
deduktif beserta bentuk umumnya berikut ini:
Semua manusia Indonesia jago logika p q
Amin manusia Indonesia p
-------------------------------- ----------
Jadi, Amin jago logika q
Jika x = −3 maka x2 = 9 p q
x2 = 9 q
-------------------------------- ----------
Jadi x = −3 p
Contoh penarikan kesimpulan pertama di atas dikenal dengan modus
ponens dan merupakan penarikan kesimpulan yang sahih, sedangkan
contoh kedua merupakan penarikan kesimpulan yang tidak sahih.
Perhatikan contoh pertama di atas sekali lagi. Jika premis argumen
tersebut bernilai benar, maka tidak mungkin kesimpulannya bernilai
salah. Contoh kedua merupakan penarikan kesimpulan yang tidak
sahih, karena jika premis argumen tersebut bernilai benar, maka
kesimpulannya masih mungkin bernilai salah, yaitu untuk nilai x = 3.
Giere (1984) mencontohkan juga bahwa dari suatu premis-premis yang
bernilai salah akan dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang bernilai
salah maupun yang bernilai benar melalui suatu proses penarikan
kesimpulan yang valid berikut ini.
Babi adalah binatang bersayap. (Salah)
Semua binatang bersayap tidak dapat terbang. (Salah)
--------------------------------------------------------------------------
Jadi, babi tidak dapat terbang (Benar)
6
Bulan lebih besar daripada bumi. (Salah)
Bumi lebih besar daripada matahari. (Salah)
--------------------------------------------------------------------------
Jadi, bulan lebih besar daripada matahari (Salah)
KELEBIHAN PENALARAN DEDUKTIF
Pada proses induksi atau penalaran induktif akan didapatkan suatu
pernyataan baru yang bersifat umum (general) yang melebihi kasuskasus
khususnya (knowledge expanding), dan inilah yang diidentifikasi
sebagai suatu kelebihan dari induksi jika dibandingkan dengan deduksi.
Hal ini pulalah yang menjadi kelemahan deduksi. Pada penalaran
deduktif, kesimpulannya tidak pernah melebihi premisnya. Inilah yang
ditengarai menjadi kekurangan deduksi.
Perhatikan sekali lagi contoh induksi berikut:
Mangga manalagi yang masih muda kecut rasanya.
Mangga harum manis yang masih muda kecut rasanya.
Mangga udang yang masih muda kecut rasanya.
Mangga .... yang masih muda kecut rasanya.
------------------------------------------------------------------------
Jadi, semua mangga yang masih muda kecut rasanya.
Kesimpulan di atas bernilai benar karena sampai saat ini belum ada
mangga yang masih muda yang tidak kecut rasanya. Pernyataan itu
akan bernilai salah jika sudah ada ilmuwan yang menghasilkan mangga
yang tidak kecut rasanya meskipun masih muda. Dengan demikian,
hasil yang didapat dari induksi tersebut masih berpeluang untuk
menjadi salah. Sedangkan pada deduksi yang valid atau sahih,
kesimpulan yang didapat diklaim tidak akan pernah salah jika premispremisnya
bernilai benar (truth preserving), sebagaimana ditunjukkan
tadi. Inilah yang diidentifikasi sebagai kelebihan dari deduksi jika
dibandingkan dengan hasil pada proses induksi.

Sampai saat ini, para filsuf sedang memimpikan suatu bentuk argumen
atau penalaran yang dapat menghasilkan pernyataan baru yang bersifat
umum yang melebihi kasus-kasus khususnya (knowledge expanding);
dan hasilnya tidak akan salah jika premis-premisnya bernilai benar
(truth preserving). Menurut Giere (1984:45), impian para filsuf tersebut
tidak akan terlaksana dan manusia dituntut untuk memilih salah satu
sesuai dengan kebutuhannya sebagaimana pernyataannya: “The
philosophers’ dream of finding a form of argument that would be both truth
preserving and knowledge expanding is an impossible dream. You must
choose one or the other. You cannot both.” Pernyataan Giere ini telah
menunjukkan bahwa kedua penalaran itu memiliki kelemahan dan


kekuatannya sendiri-sendiri. Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa
pada penalaran deduktif yang valid, jika premisnya bernilai benar maka
kesimpulannya tidak akan pernah bernilai salah. Namun jika premisnya
bernilai salah maka kesimpulannya bisa bernilai salah dan bisa juga
bernilai salah.

YANG MO INFO